Flamboyan Merah Jingga, Oleh: K. Usman Musim hujan di akhir tahun menyebabkan udara dingin, merupakan keadaan yang sangat ditakuti Novia dan seisi rumahnya. Dia mengidap penyakit asma sejak kecil. Udara dingin akan menyebabkan dia sulit bernapas. Papa Karim sudah berkonsultasi pada dokter ahli penyakit dalam mengenai asma yang diderita Novia. Kata Dokter Asmadikun, asma bronkial itu bersifat alergi keturunan. Selain debu rumah, bulu binatang, kambuhnya asma, juga disebabkan beberapa jenis bunga. Mama Solehat, Papa Karim, Kak Fatimah, Bik Supiah, seisi rumah cemas setiap kali Novia pergi sekolah, les Inggris, kursus gitar, dan latihan vokal. Semua baju hangat milik gadis yang mulai beranjak remaja itu dikeluarkan. Abel, teman dekat si bungsu itu, pun cemas bila tiba musim hujan. Abel siap mengantar dan menjemput Novia les Inggris, kursus gitar, dan latihan vokal. Tetapi, Abel, siswa kelas tiga SMU itu, tidak dapat mengantar dan menjemput pada sore hari. Dia pun les Inggris pada senja hari. "Jangan lupa baju hangat, Novi!" Mama Solehat mengingatkan. "Eeee! Baju hangatmu sudah dimasukkan ke tas apa belum?" tanya Kak Fartimah. "Non, ini baju hangat warna ijo," kata Bik Supiah, sang pembantu rumah tangga yang setia. Dialah yang mengurus Novia sejak kecil karena Mama Solehat sejak muda sibuk bekerja. "Novi, Sayang," kata Papa Karim, "ini baju hangat baru buat kamu menghadapi musim hujan, ya?" Lelaki berkacamata plus itu mengangkat sehelai baju hangat warna merah, pada suatu hari Minggu sore. Ketika itu hujan seperti tercurah dari langit diiringi gelegar petir. Sore itu Papa Karim akan berangkat ke pabrik pakaian di luar kota. Sedih hati Novia bila ayah dan ibunya ke pabrik. Di rumah, dia akan berdua dengan Bik Supiah. Kak Fatimah tentu saja mengisi Minggu sorenya dengan berkebun, atau menyiapkan bahan-bahan praktek di klinik gigi. Sebenarnya, Novia, yang menyebut dirinya Novi, tidak begitu suka diperlakukan berlebih-lebihan. "Hai! Novi bukanlah si sakit yang minta dikasihani!" Novi ingin berkata begitu kepada Mama Solehat, Papa Karim, Kak Fatimah, Bik Supiah, dan Abel. "Novi sudah lima belas tahun, tahu! Novi sudah SMP," lanjut kata hatinya. Tetapi, ya Tuhan! Siapa yang tidak mengelus dada, sedih, kasihan, bila Novia sesak napas dan gelisah mencari-cari oksigen? Hati siapa tidak hancur menyaksikannya bergulat, menggapai-gapai, dan ngik-ngik-ngik, napasnya berbunyi? Pada saat semacam itu, semua orang membayangkan Malaikat Maut telah menjemput Novi. Seorang sepupunya, Jose, secara sinis menghina, "Novia kayak tengkorak hidup!" Tentu saja Jose dimarahi seisi rumahnya. Ucapannya itu melukai perasaan Novia. Tiga hari Novia menangis setelah dihina Jose. Namun, gadis mungil itu berusaha membunuh dendam di dalam dirinya, dan melupakan penghinaan itu. Dia tunjukkan kelebihannya. Kesenangannya memotret didukung seisi rumah. Potret hitam putih dan warna karyanya dikumpulkan Papa Karim. Selain senang memotret, Novia senang melukis. Benda apa saja dilukisnya. Cita-citanya memang mau menjadi arsitek. Dokter Mulkan, rekan Papa Karim dan Mama Solehat, dipanggil Novi Om Mul, mewajibkan Novia berenang di laut minimum sekali seminggu. Asma yang diderita Novia, kata Om Mul, adalah akibat alergi udara kotor, seperti debu, knalpot, bulu anjing, bulu kucing, bulu tikus. Juga bunga-bunga yang tidak segar. Singkirkan semua itu dari Novia. Simpan boneka-boneka yang mudah mengisap semua kotoran. Jauhkan semua yang berdebu dan berbulu dari Novia! Jadi, selama beberapa tahun, Novia akan jauh dari boneka yang berbulu. Menyedihkan sekali bagi Novia, yang sejak bisa merangkak sudah menyukai boneka. Ketika asma Novia kumat, setelah kehujanan pulang dari sekolah, jalan pun dihadang macet, jemputan telat, dia pun dikurung dalam kamar hangat. Sandal, sepatu, baju atau jas wool diharamkan masuk kamar Novi. Dalam keadaan begitu, Novi merasa seperti para boneka di lemari kaca dalam gudang. Beruntung, Novi dapat melihat bunga flamboyan merah jingga bermekaran dengan megah meriah dari jendela kamarnya. Batang flamboyan itu besar. Dahan-dahannya melebar seakan mengatapi jalan, ke segala penjuru angin. "Boleh buka kaca jendela sedikit, ah," kata Novia setelah matahari muncul. Cahaya menjadikan suasana agak cerah. Novi mengeluarkan kamera mini dari laci meja belajarnya. Bunga flamboyan yang megah meriah, merah jingga itu, diabadikannya. Jepret! Jepret! Jepret! "Tetapi, Novi bisa keluar, mencuci dan mencetak foto-foto ini?" Ia bertanya dalam hati. Boleh minta tolong pada Kak Fati, begitu dia memanggil Kak Fatimah, mahasiswi fakultas kedokteran gigi. Bisa juga minta bantuan Bik Supiah, bila dia ke pasar. Cuti satu minggu dari sekolah, sungguh menyiksa. Syukur alhamdulillah, bunga flamboyan merah jingga seakan tersenyum, menghibur Novia. Bila angin pagi, siang, senja berhembus, bunga flamboyan di ujung-ujung ranting itu seperti menari. Huuu! Indah sekali! "Poinciana regia," Novia menyebut nama Latin untuk flamboyan. Tanaman hias yang tergolong tanaman keras ini diimpor ke Indonesia dari Madagaskar. Batangnya licin. Warnanya cokelat-kelabu. Daunnya kecil-kecil, halus, mirip daun petai cina. Mula-mula daun berwarna hijau muda. Lama-lama daun-daun itu menjadi hijau tua. Dua macam warna bunga flamboyan, yakni merah menyala dan merah jingga, kesukaan Novia. Bunga-bunga yang sudah tua menjadi buah yang panjangnya 30 sampai 40 sentimeter. Warnanya hijau daun sebelum masak. Setelah matang di batang berubahlah buahnya menjadi cokelat. Pada waktu musim kemarau, daun-daun flamboyan menghilang. Daun-daunnya bersemi kembali bila tiba musim hujan. Batang flamboyan berupa kayu keras, yang tahan terpaan air, dan kuat menahan hama serangga. "Novi seperti flamboyan," bisik Novi setelah memotret dari posisi lain. Sempat-sempatnya gadis yang terbilang tomboi itu naik jendela untuk mendapatkan sudut pemotretan berbeda. "Nov, Abel nelepon. Dia akan datang Minggu sore. Maaf, dia bilang, tidak bisa ke sini Sabtu malam karena ada larangan datang pada saat hujan sedang deras-derasnya," cerita Kak Fatimah seraya masuk ke kamar Novia. Pintu memang tidak dikunci dari dalam. "Siapa yang jadi polisi di rumah ini, Kak Fati, sampai-sampai Abel tidak boleh datang pada Sabtu malam karena hujan sangat deras, hem?" "Polisi di rumah ini adalah Papa Karim, Mama Solehat, dan Bik Supiah. Komandannya adalah Om Dokter Mulkan." "Enak saja melarang orang yang sedang sayang-sayangan. Kak Fati, apanya?" "Kak Fati, kurir saja, deh," Fatimah tertawa sambil memeluk adik semata wayangnya. "Mas Demang lama nggak menelepon, ya Kak?" tanya Novia. "Baru tiga hari. Dia sibuk di pengeboran di tengah laut. Sinyal ponsel lemah di tengah laut bergelombang. Mas Demang selalu berdoa dan mengharap Novia segera sembuh. Mas Demang sayang pada Novia." "Sama Kak Fati pasti lebih sayang, bukan?" "Sama, dong!" "Pastilah Mas Demang lebih sayang pada Kak Fati. Buktinya… he he he." "Buktinya apa?" "Mas Demang mencium Kak Fati, he he he...." "Eee, Novia ngintip, ya?" Fatimah segera mengejar adiknya. Setelah berhasil menangkap Novia, Fatimah memeluk gadis mungil itu kuat-kuat, melepaskan rasa gemas. Tiba-tiba Novia teringat pada Abel, orang dekatnya. Dia pun teringat pada Isabella, gadis yang mengejar-ngejar si ganteng Abel, dulu. Tentu saja Novia cemburu. "Kak Fati, kata Sabrina, Isabella masih sering jalan sama Abel, ya?" tanya Novia. "Ah, gosip murahan itu!" bantah Kak Fatimah. "Tapi sudah seminggu Abel tidak datang. Jangan-jangan dia benar-benar balik pada Isabella, Kak Fati." "Kak Fati yakin, Abel itu cowok yang setia dan pengertian, tahu." Wajah Novia mendadak jadi murung. Dia memandang bunga-bunga flamboyan merah jingga dari kaca jendela. Gerimis senja turun lagi di awal malam itu. Tetes-tetes gerimis membasahi tajuk-tajuk bunga flamboyan, juga menggoyangkannya. Bunga-bunga di ranting kecil jadi terayun-ayun, seolah mengangguk pada Novia. Langit di kawasan barat diberati awah hitam. Kawasan yang makin gelap itu menjanjikan hujan deras. "Sabarlah! Dia sudah nelepon. Katanya, ke sini Minggu sore. Sekarang kan baru Sabtu sore. Besoklah kita buktikan," Kak Fatimah meyakinkan adiknya. "Lagi pula, Abel itu harus membantu ibunya di toko, sejak ayahnya kecelakaan lalu-lintas, sampai meninggal dunia, tahun lalu. Sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, tugas Abel cukup berat," tambah Kak Fatimah. "Kudu ngerti, dong!" "'Ngerti, Kak Fati. Tapi, harusnya Abel menghindari rayuan Isabella." "Namanya gosip, Nov, belum tentu benar-benar ada." Kak Fati menyemangati. Minggu sore. Hujan deras membanjiri sebagian Kota Jakarta. Sampai pukul lima sore, Abel belum datang. Novia makin waswas. Serangan pada pernapasannya mulai menekan-nekan. Novia buru-buru menutup jendela kamarnya. Sesaat, dia pandangi bunga-bunga flamboyan merah jingga, beberapa belas meter dari kamarnya. Novia menyaksikan kemeriahan bunga-bunga yang bermekaran itu menyambut kehadiran senja yang murung di semua kawasan Jakarta. Dia khawatir sekali Kota Jakarta dilanda banjir lagi. Novia membayangkan, pada banjir 2002, rumah Abel hanya tampak atapnya. "Sayaaang?" Kak Fati muncul. Di tangannya segelas air jeruk hangat kesukaan Novia. "Kak Fati. Lihat jam dinding itu!" Novia menunjuk jam dinding di kamarnya. "Baru pukul lima lewat sepuluh. Masih senja. Belum petang. Kita doakan rumah Abel tidak kebanjiran." Pukul setengah enam. Novia makin gelisah. Telepon di ruang tengah mendadak berdering-dering nyaring. Kak Fati lari. "Abel yang nelepon," harapnya dalam hati. "Siapa ini?" tanya Kak Fatimah. "Halimah, Kak," jawab Halimahtulsakdiyah, adik permpuan Abel. "Ada pesan buat Kak Novia dari Abang Abel," lanjutnya. Bunyi curah hujan terdengar di seberang sana. Itu tanda hujan sangat deras. "Rumahmu kebanjiran lagi, ya?" Kak Fatimah memotong. Seraut wajah Novia muncul di ruang tengah. Wajah itu tegang. Dia menunggu hasil pembicaraan antara Kak Fatimah dan penelepon. "Tidak, Kak. Ehm, pesan Abang Abel, dia dalam perjalanan ke rumah Kak Novia." "Oh, alhamdulillah, Hali. Terima kasih, ya? Nanti Kak Fati bilang pada Kak Novia, ya?" Wajah Novia menjadi cerah, setelah Kak Fati menceritakan bahwa Abel dalam perjalanan ke rumah. Senyumnya merekah. Buru-buru dia berlari ke kamar. Dia menghadap jendela lagi. Bunga-bunga flamboyan merah jingga itu dirasakannya lebih indah di ujung senja berhujan deras, saat ini…. (Villa Kali Sari, Cimanggis, 15 November 2003) (AnekaYess: Edisi ke-2 Tahun 2004, 17 - 30 Januari 2004)